Oleh:
[Nama Penulis]
[NIM]
Program Studi [Nama Prodi]
Fakultas [Nama Fakultas]
[Universitas]
[Tahun]
“Setiap anak berhak merasa aman, dicintai, dan didengar—bahkan ketika keheningan orang dewasa terlalu bising.”
Untuk setiap anak yang tumbuh berani di tengah ketidakhadiran, dan untuk para pendamping yang memilih hadir setiap hari.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena skripsi berjudul “Skripsi Tentang Fatherless: Analisis Kebijakan—Perlindungan Anak dalam Kasus Abandonment dan Akses Bantuan Psikososial” ini dapat disusun sebagai contoh naskah akademik yang ringkas. Skripsi contoh ini dibuat untuk tujuan pembelajaran: merangkum isu, menyederhanakan kerangka teori, memperlihatkan alur penelitian kebijakan, dan mempraktikkan cara menyusun argumentasi yang runtut tanpa harus memaparkan data asli yang detail.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sering menjadi rujukan dan inspirasi—para peneliti, pembuat kebijakan, praktisi layanan anak, serta organisasi yang berupaya memperkuat sistem perlindungan anak di Indonesia. Ucapan terima kasih juga kepada keluarga, sahabat, dan pembaca yang memberi masukan agar contoh skripsi ini tetap mudah dipahami namun tetap bertanggung jawab.
Penulis menyadari skripsi contoh ini masih memiliki keterbatasan, terutama karena bersifat konseptual dan analitis tanpa menyajikan temuan lapangan yang spesifik. Penulis berharap naskah ini bermanfaat sebagai kerangka awal bagi mahasiswa atau praktisi yang ingin meneliti kebijakan perlindungan anak terkait fatherlessness, penelantaran (abandonment), dan akses bantuan psikososial di Indonesia.
[Tempat, Tanggal]
[Nama Penulis]
Fenomena “fatherless”—ketiadaan figur ayah secara fisik maupun emosional—sering kali beririsan dengan penelantaran anak (abandonment). Dalam konteks kebijakan, isu ini menyentuh hak anak atas perlindungan, pengasuhan, identitas, serta akses layanan dukungan psikososial. Skripsi contoh ini bertujuan menganalisis kerangka kebijakan perlindungan anak di Indonesia terkait fatherlessness akibat penelantaran, memetakan mekanisme layanan yang tersedia (seperti P2TP2A/UPTD PPA, layanan sosial, konseling di puskesmas atau lembaga rujukan), dan mengidentifikasi hambatan akses bantuan psikososial. Metode yang digunakan adalah studi pustaka dan analisis kebijakan berbasis dokumen: konvensi internasional (Konvensi Hak Anak), undang-undang perlindungan anak, pedoman layanan psikososial, dan publikasi organisasi internasional/nasional. Analisis menggunakan lensa teori ekologi perkembangan Bronfenbrenner, teori keterikatan (attachment) Bowlby, dan kerangka analisis kebijakan (mis. Bardach) untuk menilai kesesuaian norma, kapasitas implementasi, dan aksesibilitas layanan.
Temuan utama menunjukkan: (1) definisi “fatherless” yang populer tidak selalu terakomodasi secara eksplisit dalam norma hukum, sehingga isu cenderung dipetakan lewat kategori penelantaran; (2) akses bantuan psikososial masih terbatas pada wilayah tertentu, bergantung kapasitas SDM dan jejaring rujukan; (3) hambatan umum meliputi stigma, syarat administratif, biaya/transportasi, minimnya layanan ramah anak, dan koordinasi antarlembaga yang belum optimal; (4) praktik baik terlihat pada unit layanan terpadu yang memiliki SOP rujukan jelas, pendampingan kasus, serta intervensi trauma-informed. Rekomendasi meliputi penguatan definisi operasional dan data kasus, integrasi layanan psikososial dalam tingkat layanan primer, penguatan pendanaan dan kompetensi petugas, serta sistem rujukan lintas sektor yang lebih sederhana dan proaktif. Kajian ini diharapkan dapat menjadi pijakan awal bagi riset lanjutan dan advokasi perbaikan kebijakan.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Istilah “fatherless” merujuk pada kondisi ketika anak tumbuh tanpa kehadiran figur ayah—baik karena perceraian, migrasi kerja, kematian, perpisahan, atau penelantaran (abandonment). Dalam kajian kebijakan, fokusnya tidak pada moralitas keluarga, melainkan pada perlindungan anak: memastikan hak anak atas pengasuhan, identitas, keamanan, pendidikan, dan layanan kesehatan mental-psikososial tetap terpenuhi.
Di Indonesia, kerangka perlindungan anak telah diatur melalui konstitusi, undang-undang perlindungan anak beserta perubahannya, serta berbagai kebijakan turunan yang menekankan kepentingan terbaik bagi anak. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC), yang memperkuat mandat negara untuk mencegah penelantaran dan menyediakan perlindungan khusus. Dalam praktik, isu fatherlessness yang beririsan dengan penelantaran sering muncul dalam bentuk ketidakpastian pengasuhan, putusnya dukungan nafkah, hambatan administratif (misalnya pencatatan sipil), serta risiko kekerasan atau eksploitasi. Pada saat yang sama, kebutuhan bantuan psikososial bagi anak dan pengasuh—konseling, dukungan kelompok, pendampingan—kerap belum terpenuhi secara merata.
Bantuan psikososial (MHPSS—mental health and psychosocial support) tidak semata terapi klinis, melainkan spektrum dukungan: lingkungan belajar yang aman, pengasuhan positif, konseling dasar, layanan spesialis bila diperlukan, sampai rujukan lintas sektor (pendidikan, sosial, hukum). Tantangan kerap muncul pada tahap implementasi: kapasitas SDM, ketersediaan layanan di daerah, koordinasi unit layanan, keberlanjutan pendanaan, serta ketanggapan terhadap kebutuhan spesifik anak fatherless akibat penelantaran.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan analitis: sejauh mana kebijakan yang ada mampu melindungi anak dalam kasus abandonment? Apakah mekanisme akses bantuan psikososial sudah jelas, terjangkau, dan ramah anak? Bagaimana memperkuat tata kelola agar keberpihakan pada kepentingan terbaik anak benar-benar terwujud?
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Batasan Masalah
Skripsi ini berfokus pada fatherlessness yang berkaitan dengan penelantaran oleh figur ayah (biologis/ayah tiri/ayah sosial), bukan seluruh sebab ketidakhadiran ayah. Analisis difokuskan pada kerangka kebijakan, mekanisme layanan, dan akses bantuan psikososial, dengan pendekatan studi pustaka dan analisis dokumen—tanpa penelitian lapangan.
1.6 Definisi Operasional
Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
2.1 Konsep Fatherless dan Penelantaran
Literatur perkembangan anak menekankan bahwa kehadiran pengasuh utama—ayah, ibu, atau pengasuh lain—berpengaruh terhadap keamanan emosi, regulasi diri, dan perkembangan sosial. Ketiadaan ayah tidak otomatis menyebabkan dampak negatif; faktor mediasi seperti kualitas pengasuhan alternatif, dukungan keluarga besar, stabilitas ekonomi, dan lingkungan sekolah sangat menentukan. Namun, ketika ketidakhadiran ayah terjadi akibat penelantaran, risiko meningkat: anak dapat mengalami kerentanan psikologis (kecemasan, sedih, marah), sosial (stigma), dan praktis (putusnya nafkah, dokumen identitas, akses layanan). Dalam kebijakan, isu fatherless lebih tepat dipotret melalui kategori “penelantaran” dan “pengasuhan alternatif” ketimbang sekadar status keluarga.
2.2 Kerangka Hak Anak
Konvensi Hak Anak (CRC) menegaskan prinsip kepentingan terbaik anak, hak atas identitas, pengasuhan, perlindungan dari penelantaran, dan akses layanan kesehatan serta pemulihan. Indonesia telah meratifikasi CRC, yang menjadi payung bagi Undang-Undang Perlindungan Anak dan kebijakan turunannya. Prinsip non-diskriminasi mendorong layanan setara bagi semua anak, termasuk yang hidup tanpa ayah karena penelantaran. “Guidelines for the Alternative Care of Children” (PBB) menggarisbawahi bahwa pemisahan anak dari orang tua harus menjadi pilihan terakhir, dan dukungan keluarga harus diupayakan terlebih dahulu, termasuk dukungan psikososial dan ekonomi.
2.3 Psikologi Perkembangan: Attachment dan Ekologi
2.4 Bantuan Psikososial: Spektrum Layanan
Dukungan psikososial mencakup:
2.5 Kerangka Hukum dan Kelembagaan di Indonesia
2.6 Analisis Kebijakan: Kerangka
Analisis menggunakan langkah sederhana adaptasi Bardach: mendefinisikan masalah, memetakan alternatif/alat kebijakan, menilai kriteria (efektivitas, keadilan, kelayakan), menimbang trade-off, dan merumuskan rekomendasi. Pada ranah implementasi, konsep “street-level bureaucracy” menekankan peran petugas lapangan yang membuat keputusan praktis terkait akses dan mutu layanan. Perspektif ini membantu menilai mengapa norma hukum tidak selalu berujung pada perubahan nyata.
Metode Penelitian
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi pustaka dan analisis kebijakan berbasis dokumen. Ini adalah skripsi contoh; tidak ada pengumpulan data lapangan yang spesifik.
3.2 Sumber Data
3.3 Teknik Analisis
3.4 Etika
Naskah ini tidak memuat data pribadi atau hasil wawancara. Rujukan digunakan untuk kepentingan akademik dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Hasil dan Pembahasan
4.1 Posisi Fatherless dalam Kerangka Kebijakan
Secara hukum, kategori “fatherless” tidak diatur sebagai status hukum terpisah. Sebaliknya, kebijakan menyorot kondisi-kondisi yang menempatkan anak dalam kerentanan: penelantaran, kekerasan, eksploitasi, kehilangan pengasuhan, serta kebutuhan perlindungan khusus. Artinya, anak fatherless akibat abandonment efektifnya dilindungi melalui norma penelantaran dan mekanisme pengasuhan alternatif. Keuntungan pendekatan ini: fokus pada pemenuhan hak anak, bukan pada bentuk keluarga. Tantangannya: isu emosional-psikososial yang khas ketidakhadiran ayah bisa kurang terlihat dalam screening layanan jika prosedur hanya menekankan aspek hukum/administratif (misal, laporan penelantaran tanpa asesmen psikososial yang mendalam).
4.2 Peta Layanan dan Rujukan
Secara umum, layanan perlindungan anak dan bantuan psikososial meliputi:
4.3 Hambatan Akses
4.4 Dampak Psikososial dan Kebutuhan Anak
Dampak yang sering dicatat dalam literatur meliputi perasaan kehilangan, marah, bingung, dan pertanyaan identitas. Aspek praktis seperti nafkah, tempat tinggal, dan akses pendidikan juga memengaruhi kondisi psikologis anak. Bagi pengasuh (seringkali ibu atau kakek-nenek), beban ganda ekonomi-emosional bisa memicu stres, yang kemudian mempengaruhi pola pengasuhan. Intervensi efektif karenanya perlu menyasar unit keluarga/rumah tangga, bukan hanya anak secara individual.
Intervensi yang disarankan:
4.5 Analisis Kebijakan: Kesesuaian, Kelayakan, dan Dampak
Trade-off kebijakan:
4.6 Praktik Baik (Good Practices) yang Teridentifikasi
4.7 Ilustrasi Kasus (Fiktif untuk Pembelajaran)
A, 11 tahun, tinggal bersama ibu dan nenek. Ayah meninggalkan rumah sejak 2 tahun lalu tanpa dukungan nafkah. A sering absen sekolah, menarik diri, dan mengeluh sulit tidur. Sekolah menghubungi BK, lalu berkoordinasi dengan P2TP2A setempat. Asesmen awal menunjukkan penelantaran nafkah dan kebutuhan dukungan psikososial. Intervensi: konseling dasar untuk A; pelatihan pengasuhan positif untuk ibu/nenek; koordinasi dengan dinas sosial untuk bantuan sementara; rujukan ke puskesmas untuk skrining kesehatan mental. Setelah 3 bulan, A kembali rutin sekolah, hubungan keluarga lebih stabil, dan proses hukum administratif terkait identitas/nasabah diadvokasi. Ilustrasi ini menunjukkan nilai kolaborasi lintas sektor dan intervensi berlapis.
4.8 Kesenjangan dan Peluang
Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1 Kesimpulan
Pertama, isu “fatherless” dalam kerangka kebijakan Indonesia secara substantif terwadahi dalam konsep penelantaran anak dan pengasuhan alternatif, bukan sebagai status keluarga yang berdiri sendiri. Pendekatan ini selaras dengan prinsip kepentingan terbaik anak, dengan fokus pada pemenuhan hak dan perlindungan dari dampak penelantaran.
Kedua, infrastruktur kelembagaan telah tersedia—P2TP2A/UPTD PPA, layanan kesehatan primer, sekolah, lembaga sosial—namun implementasi bervariasi antar daerah. Akses bantuan psikososial kerap terkendala oleh stigma, logistik, kapasitas SDM, koordinasi rujukan, dan ketersediaan layanan ramah anak.
Ketiga, kebutuhan anak yang terdampak abandonment mencakup intervensi yang berlapis: penguatan pengasuhan, dukungan psikososial dasar, rujukan spesialis bila diperlukan, dan dukungan sosial-ekonomi bagi keluarga. Upaya ini paling efektif ketika lintas sektor bersinergi, dengan SOP sederhana dan berfokus pada keselamatan serta kesejahteraan anak.
Keempat, perbaikan kebijakan perlu menekankan penyempurnaan definisi operasional, penguatan layanan di tingkat primer, pengembangan kapasitas SDM, integrasi data dengan perlindungan privasi, dan pendanaan berkelanjutan—agar anak tidak “hilang” dalam proses rujukan.
5.2 Rekomendasi
Rekomendasi ini realistis bila diiringi kepemimpinan daerah, kolaborasi lintas sektor yang konsisten, dan komitmen terhadap evaluasi berbasis hasil.
Lampiran (opsional)
Skripsi contoh ini disusun untuk menunjukkan alur pikir, struktur penulisan, dan cara menganalisis kebijakan secara ringkas. Untuk penelitian aktual, diperlukan pendalaman: telaah regulasi yang spesifik, pemetaan layanan di daerah penelitian, dan pengumpulan data primer/sekunder yang sistematis. Semoga naskah ini menjadi pijakan awal yang jelas dan mudah diikuti.
Kata Pengantar Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga…
Surat Riset untuk Skripsi ke Universitas YARSI Fakultas Kedokteran | Contoh, Format & Panduan Lengkap…
Surat Riset Skripsi Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin - Panduan Lengkap & Template Surat Riset…
Surat Riset Skripsi: Panduan Lengkap, Contoh, dan Template untuk Mahasiswa Surat Riset Skripsi: Panduan Lengkap…
Surat Riset Penelitian Skripsi: Panduan Lengkap, Contoh, dan Template Surat riset penelitian skripsi adalah dokumen…
Surat Pernyataan Tidak Plagiat Skripsi: Panduan Lengkap, Contoh, dan Tips Anti-Plagiarisme Surat Pernyataan Tidak Plagiat…